Juningsih lahir sebagai gadis dengan anggota tubuh yang lengkap, bersama adik dan kakaknya mereka selalu menghabiskan hari dengan bermain bersama. Namun suatu hari ketika asyik bermain, jari kaki Juningsih terjepit pintu pagar yang sudah berkarat.
Sebagai anak kecil, Juningsih tidak ambil pusing dengan luka di kakinya itu. Dia melanjutkan lagi bermain dan tanpa sengaja jatuh ke selokan. Sesampainya di rumah, ibunya segera mengobati kaki Juningsih, namun anehnya tidak lama setelah itu Juningsih terkena demam tinggi.
Ibu membawa Juningsih pergi ke puskemas, di sana Juning diberi suntikan penurun panas namun hal itu tidak membuat keadaannya membaik. Demam ditubuhnya tidak kunjung turun, tubuhnya kejang-kejang dan mulutnya tidak bisa berkata-kata lagi, keadaan itu membuat ibunya makin panik dan memutuskan untuk membawa Juning ke Rumah Sakit.
Usaha itu ternyata terlambat, virus tetanus sudah menjalar ke seluruh tubuh Juningsih. Dokter yang merawat mengaku angkat tangan melihat keadaan Juningsih, dia bahkan memberikan tenggat waktu lima menit untuk melihat perkembangan Juning, jika tidak ada perkembangan maka nyawa Juning dipastikan melayang.
Menit demi menit berlalu sangat lambat, namun Tuhan menunjukan kuasa-Nya, Juning akhirnya bisa bergerak dan mulai menangis. Selamat dari maut, Juning harus menghadapi kenyataan pahit. Virus tetanus membuat jari-jari tangan dan kakinya membusuk, sehingga dokter memutuskan untuk membuangnya.
Selama tiga tahun Juning tidak bisa berjalan, dia menjadi sangat sensitif dan emosional apalagi jika melihat teman-teman seumurannya bermain dengan riang. Dia juga kerap uring-uringan ketika masuk ke ruang makan dan mendapati kakak dan adiknya sudah selesai makan dan hanya menyisahkan dia sebagaian. Dia merasa bahwa ibunya telah membeda-bedakannya dengan saudaranya.
Juningsih bercerita ayahnya adalah seorang supir truk yang gemar berjudi, untuk meminta uang dari suaminya itu, ibu Juningsih kerap menyuruh Juningsih yang maju dan membujuk ayahnya. Hal itu dilakukan agar suaminya itu iba dan mau memberinya uang, jika Juning menolak maka ibunya akan memukulnya.
“Saya merasa seperti dipermalukan, saya merasa diperalat oleh mama saya dan itu membuat saya membencinya (mama),” Juning mencurahkan isi hatinya.
Kekecewaan demi kekecewaan itu kerap membuat Juning ingin berbuat nekat dan mengakhiri hidupnya, namun akhirnya Juning mengurunkan niatnya itu.
Bertumbuh dewasa, Juning mulai bergaul dengan teman-teman yang dekat dengan dunia malam. Alasannya sederhana, Juning ingin mendapat uang dan hiburan di luar suasana rumahnya yang tidak bersahabat. Sesaat hal ini menjadi pelipur lara hatinya, namun Juning mendapati bahwa semua itu hanyalah semu.
Tanpa sengaja Juning melewati sebuah keramaian, terpancar keceriaan dalam acara itu. Tertarik, Juning pun kerap memperhatikan sekumpulan orang yang bernyanyi riang itu. Hal itu terus dilakukannya tanpa berani maju untuk bergabung bersama orang-orang yang ternyata tengah melakukan ibadah itu.
Seringkali Juning diajak untuk masuk dan bergabung, namun dia selalu menahan diri dan malah berlari pergi. Setelah berminggu-minggu dan sering dibujuk, suatu ketika Juning memberanikan diri untuk bergabung. Juning merasa nyaman di sana, dan setelah beberapa kali beribadah dia merasa damai sejahtera mulai hadir dalam hatinya bahkan dia merasa ada suara yang memintanya untuk tidak berkecil hati karena hidupnya sangatlah berharga.
Sejak keluar dari rumah sakit, ada sebuah pertanyaan yang selama ini terus menekan hidupnya, mengapa dia harus tumbuh dengan tubuh yang tidak utuh? Pertanyaan itu kembali membuatnya meragu tentang betapa berharga dirinya bagi Tuhan. Juning kembali tertekan, namun saat pikirannya telah buntu dia teringat sebuah kisah di Alkitab tentang tentang seorang yang buta sejak lahir.
Kisah yang tertulis pada Injil Yohanes pasal sembilan itulah yang akhirnya menjadi jawaban pertanyaan Juning. Pada kisah itu dikatakan bahwa kebutaan orang itu bukanlah karena dosanya maupun dosa orangtuanya, tapi sebaliknya lewat kehidupan orang itu pekerjaan Tuhan akan dinyatakan. Saat itu Juning yakin, bahwa Tuhan telah punya rencana yang indah untuk dirinya.
Kebenaran itu membuat Juningsih yakin bahwa hidupnya bukan untuk disesali, Juningsih pun akhirnya belajar mengampuni orangtuanya, saudara-saudaranya dan orang-orang yang telah menyakitinya. Sejak saat itu kehidupan Juning berubah, dia tidak lagi menutup diri malah sebaliknya dia menjadi pribadi yang mandiri dan percaya diri.
Bagi Juning, hanya pribadi Yesuslah yang membuat dirinya berarti dan membuat dirinya menjadi sama seperti orang-orang lain yang normal. “Saya merasa beruntung karena telah diberikan keistimewaan yang sangat luar biasa,” ungkap Juningsih mengakhiri kesaksiannya.
Sumber : V120222130116